Laman

Jumat, 09 Desember 2011

Jejak Budaya Korupsi

Sebagai rakyat Indonesia kita boleh berbangga dengan budayanya. Beribu suku bangsa dengan masing- masing adat istiadatnya memberikan kebanggan tersendiri bagi kita rakyat Indonesia apa lagi dengan kekayaan dan sumber daya alam yang melimpah hingga disebut sebagai zamrud khatulistiwa. Bahkan ada lagu yang menganalogikan kekayaan Indonesia dengan lautnya bagaikan kolam susu dan tongkat kayu pun bisa tumbuh menjadi tanaman ditanahnya yang subur. Borobudur, prambanan, dan candi-candi lainnya serta keraton-keraton yang tersebar diseluruh nusantara menjadi bagian dari warisan besarnya peradaban dan budaya Indonesia. Dan sampai saat ini pun mulai dari masyarakat biasa sampai pemerintah senantiasa mempromosikan kebanggan ini.

Akan tetapi, dibalik besarnya warisan sejarah peradaban bangsa ini tidak hanya menimbulkan kekayaan khasanah budaya tetapi juga sebuah budaya yang sampai saat ini masih mengakar bahkan semakin dilestarikan oleh kalangan tertentu. Sebuah warisan dari kuatnya feodalisme zaman kerajaan-kerajaan,juga bagian warisan dari para bangsawan dan kaum priyai masa pendudukan belanda. Dan kini diwariskan oleh petinggi-petinggi Negara dan elit politik yang silih berganti dari satu orde ke orde yang lain dan dari satu periode ke periode yang lain. Dan warisan itu adalah korupsi.


Sebelum kita melangkah lebih jauh ada baiknya kita memahami apa korupsi itu karena berbagai tindakan untuk membasmi tindak korupsi terkendala akibat lemahnya pemahaman masyarakat tentang korupsi dan aturan yang terkait dengannya. Korupsi (bahasa latin: corruption dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Menurut Lembaga Transparansi Internasional, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya yang dekat dengannya, dengan menyalah gunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Menurut perspektif hukum yang ada di Indonesia, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dapat dikelompokkan sebagai berikut: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Terkadang banyak yang menganggap bahwa korupsi itu mulai berlangsung dizaman orde baru padahal jika kita mencoba melakukan tinjauan historis ternyata berbagai bentuk tindakan yang terkait dengan bentuk-bentuk korupsi telah sering dilakukan sejak kerajaan di Indonesia. Kerasnya feodalisme menyebabkan seorang bupati atau penguasa pada wilayah tertentu harus sering menyerahkan upeti kepada raja yang memerintah bahkan terlebih lagi agar bupati itu ingin tetap menjadi bupati. Pemberian upeti atau hadiah mungkin pada zaman itu dianggap sebagai hal yang wajar dalam sistem pemerintahan yang feodal. Tapi justru hal inilah yang membentuk karakter dari para pemimpin pada zaman itu dan masih mengakar sampai sekarang.

VOC sebagai satu-satunya perusahaan dagang multinasional dan terbesar dizamannya dengan wilayah kerja yang begitu luas mulai dari Amerika Selatan, Afrika bagian selatan, sebagian wilayah Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara khususnya Indonesia terpaksa bangkrut karena korupsi yang begitu besar disetiap hirarki struktural didalamnya. Dan dengan bubarnya VOC pemerintahan Hindia Belanda langsung diambil alih oleh Kerajaan Belanda.

Terkhusus wilayah Indonesia dengan banyak pulau dan kerajaan-kerajaan kecil didalamnya, pemerintah Hindia Belanda menerapkan Teori Asosiasi yang dipaparkan oleh Doktor Snouck Hurgronje dalam menjalankan pemerintahan di wilayah Indonesia. Doktor Snouck Hurgronje seorang sarjana berkebangsaan Belanda yang melakukan penelitian antropososiologi pada penduduk jawa. Dia menemukan bahwa sejak pendudukan Belanda di Jawa, penduduk jawa masih memelihara budaya dari zaman kerajaan-kerajaan jawa kuno khususnya sistem feodalisme pemerintahan. Penduduk jawa sangat patuh terhadap pemimpinnya dalam hal ini bangsawan jawa dibandingkan bangsa Belanda. Oleh karena itu dengan Teori Asosiasi Doktor Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda mengangkat para bangsawan pribumi, bupati, atau adipati dan kaum priyai untuk menjadi regen untuk memerintah diwilayah kekuasaannya masing-masing.

Para regen ini bertugas menjalankan pemerintahan disuatu wilayah kabupaten seperti, menarik pajak dan penyaluran hasil-hasil perkebunan. Penghasilan seorang regen dirinci menjadi empat bagian. Pertama, gaji tetap bulanannya. Kedua, jumlah khusus sebagai kompensasi atas hak pemindahan ke Pemerintah Belanda. Ketiga, bonus dari bagian kuantitas hasil serahan produk-produk kabupatennya seperti kopi, gula, nila, kayu manis, dll. Dan terakhir, pemakaian ternaga serta kekayaan para bawahannya secara sewenang-wenang.

Para regen untuk mempertahankan kebangsawanannya serta menimbulkan kesan bangsawan pada penduduknya harus senantiasa hidup mewah bahkan pengeluarannya bisa melebihi dari pendapatannya. Oleh karena itu pemerintah Hindia Belanda sering memberikan hadiah bagi para regen yang menyetor banyak pajak dan hasil perkebunan, belum lagi bonus tambahan bagi regen yang mengirimkan penduduknya untuk kerja paksa tanpa gaji. Sebenarnya keturunan regen tidak dengan sendirinya menjadi regen, tetapi kembali untuk menimbulkan kesan bangsawan dihadapan penduduknya seorang regen harus membayar mahal dan menyetor upeti kepada Pemerintah Hindia Belanda agar kelak digantikan oleh anaknya. Jelas pada masa itu rakyat biasa tidak sadar bahwa pemimpinya pada dasarnya pemimpin bayaran. Dan tidak diragukan lagi pemberantasan penyalah gunaan kekuasaan ini pasti sangat sulit bahkan sampai di zaman demokrasi sekarang ini.

Era Orde Lama bukan berarti era dimana korupsi tidak mewabah, bahkan di zaman Orde Lama ini terjadi tiga kali pembentukan lembaga pemberantasan korupsi yaitu; Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), Operasi Budhi, dan Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar). Dan Orde Baru merupakan zaman di korupi semakin dilestarikan dan banyak yang menganggap bahwa korupsi adalah bagian dari budaya Indonesia.

Lemahnya payung hukum dan lembaga pengawas yang cenderung tebang pilih menyebabkan pemberantasan korupsi semakin terhambat. Lihat saja misalnya kasus penyalah gunaan BLBI yang sampai sekarang belum tuntas dan yang paling parah adalah penutupan kasus korupsi mantan Presiden Suharto berserta keluarga tentang aliran dana ketujuh yayasannya.

Lembaga Transparansi Internasional dalam laporannya tentang Indeks Persepsi Korupsi menempatkan Indonesia pada peringkat 145 dari 180 negara. Dan ini membuktikan bahwa saat ini kita membutuhkan sistem dan hukum yang kuat dalam memberantas korupsi. Mengapa kita tidak mencoba mengadopsi aturan di China bahwa pejabat Negara dari partai komunis jika terbukti korupsi akan dijatuhi hukuman mati dan jika dari partai lain akan dijatuhi hukuman mati.

Titik ujung dari mengakarnya korupsi dikalangan birokrasi pemerintahan adalah terbentuk yang dinamakan Kleptokrasi, yang dalam arti harfiahnya adalah pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Dan sampai kapan kita berbangga dengan budaya ini.

Terinspirasi dari buku Max Havelaar karya Multatuli

1 komentar:

  1. A Vegas-style slot machine, featuring wilds, - DRMCD
    A Vegas-style 경기도 출장마사지 slot machine, featuring 김해 출장샵 wilds, free spins, jackpots and 울산광역 출장마사지 a casino bonus game are on offer on our casino 수원 출장마사지 floor. 순천 출장안마

    BalasHapus